MAKALAH
PENGANTAR PENDIDIKAN
(PRAGMATISME)
Oleh:
Febriari (140251602773)
Galang Satria P (140251603275)
Yususf Rizal H.P (140251600620)
Offering B
S1 PENDIDIKAN SENI RUPA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATARA BELAKANG
Dalam perkembangan pemikiran dewasa ini terjadi
pergolakan yang menjadikan manusia memikirkan bagaimana asal dari berbagai
pemikiran yang bisa mengubah paradigma seseorang. Dalam dunia ilmu
pengetahuan yang tidak mengalami pergeseran nilai adalah filsafat dari
pemikiran sebelum socrates sampai filsafat dewasa ini muncul berbagai aliran
yang memberikan definisi tentang kehidupan. Diantara aliran besar abad 19
adalah Pragmatisme.
Kiranya
mempelajari aliran tidak hanya bisa dilihat dari satu sudut pandang masih ada
banyak corak-corak yang dikembangkan oleh generasi yang selanjutnya namun
semuanya tidak akan lepas dari dasar filsafatnya itu sendiri. Perkembangan
aliran filsafat memungkinkan orang membuat sebuah sekte yang di dalamnya
mengandung agama ataupun malah meniadakan agama sama sekali disini menarik
untuk diulas lebih dalam.
Kata
pragmatisme sering sekali diucapkan orang. Orang-orang menyebut kata ini
biasanya dalam pengertian praktis. Jika orang berkata, Rencana ini kurang
pragmatis, maka maksudnya ialah rancangan itu kurang praktis. Pengertian
seperti itu belum menggambarkan keseluruhan pengertian pragmatisme. Oleh sebab
itulah, penulis membuat makalah ini agar pemahaman mengenai aliran ini bisa
lebih dipahami.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa pengertian pragmatisme ?
2.
Siapa saja tokoh-tokoh pragmatisme ?
3.
Apa saja kelebihan dan kekurangan pragmatisme ?
4.
Bagaimana pengaruh pragmatisme dalam dunia
pendidikan ?
C.
TUJUAN PENULISAN
1.
Untuk mengetahui secara jelar pengertian
pragmatisme.
2.
Untuk menegetahui siapa saja tokoh-tokoh dalam
pragmatisme.
3.
Dapat menegtahui kelemahan dan kelebihan aliran
pragmatisme.
4.
Dapat mengetahui pengaruh aliran pragmatism
dalam dunia pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
PRAGMATISME
Menurut Kamus Ilmiah
Populer, Pragmatisme adalah aliran filsafat yang menekankan pengamatan
penyelidikan dengan eksperimen (tindak percobaan), serta kebenaran yang
mempunyai akibat – akibat yang memuaskan. Sedangkan, definisi Pragmatisme
lainnya adalah hal mempergunakan segala sesuatu secara berguna.
Sedangkan
menurut istilah adalah berasal dari bahasa Yunani “ Pragma” yang berarti
perbuatan ( action) atau tindakan (practice). Isme sendiri berarti ajaran atau
paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa
pemikran itu menuruti tindakan.
Pragmatisme
adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu
ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata.
Oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak. Mungkin sesuatu konsep atau peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti berguna bagi masyarakat yang lain. Maka konsep itu dinyatakan benar oleh masyarakat yang kedua.
Oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak. Mungkin sesuatu konsep atau peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti berguna bagi masyarakat yang lain. Maka konsep itu dinyatakan benar oleh masyarakat yang kedua.
Dasar
dari pragmatisme adalah logika pengamatan, di
mana apa yang ditampilkan pada manusia dalam dunia
nyata merupakan fakta-fakta individual, konkret, dan terpisah satu sama lain.
Dunia ditampilkan apa adanya dan perbedaan diterima begitu saja. Representasi
realitas yang muncul di pikiran manusia selalu bersifat pribadi dan bukan
merupakan fakta-fakta umum. Ide menjadi benar ketika memiliki fungsi pelayanan
dan kegunaan. Dengan demikian, filsafat pragmatisme tidak mau direpotkan dengan
pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran, terlebih yang bersifat metafisik, sebagaimana
yang dilakukan oleh kebanyakan filsafat Barat di dalam sejarah.
Menurut
teori klasik tentang
kebenaran, dikenal dua posisi yang berbeda, yakni teori korespondensi dan teori koherensi. Teori korespondensi menekankan persesuaian
antara si pengamat dengan apa yang diamati sehingga kebenaran yang ditemukan
adalah kebenaran empiris, sedangkan
teori koherensi menekankan pada peneguhan terhadap ide-ide a priori atau kebenaran logis, yakni jika
proposisi-proposisi yang diajukan koheren satu sama lain. Selain itu, dikenal
lagi satu posisi lain yang berbeda dengan dua posisi sebelumnya, yakni teori
pragmatis. Teori pragmatis menyatakan bahwa 'apa yang benar adalah apa yang
berfungsi. Bayangkan sebuah mobil dengan segala
kerumitan mesin yang membuatnya bekerja, namun yang sesungguhnya menjadi dasar
adalah jika mobil itu dapat bekerja atau berfungsi dengan baik.
Arti
umum dari pragmatisme ialah kegunaan, kepraktisan, getting things done.
Awalnya pragmatisme lebih merupakan suatu usaha-usaha untuk menyatukan ilmu
pengetahuan dan filsafat agar filsafat dapat menjadi ilmiah dan berguna bagi
kehidupan praktis manusia. Sehubungan dengan usaha tersebut, pragmatisme
akhirnya berkembang menjadi suatu metoda untuk memecahkan berbagai perdebatan
filosofis-metafisik yang tiada henti-hentinya, yang hampir mewarnai seluruh
perkembangan dan perjalanan filsafat sejak zaman Yunani kuno. Dalam usahanya
untuk memecahkan masalah-masalah metafisik yang selalu menjadi pergunjingan
berbagai filosofi tulah pragmatisme menemukan suatu metoda yang spesifik, yaitu
dengan mencari konsekuensi praktis dari setiap konsep atau gagasan dan
pendirian yang dianut masing-masing pihak.
Bagi
kaum pragmatis, untuk mengambil tindakan tertentu, ada dua hal penting.
Pertama, ide atau keyakinan yang mendasari keputusan yang harus diambil untuk
melakukan tindakan tertentu. Dan yang kedua, tujuan dari tindakan itu sendiri.
Keduanya tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan suatu paket tunggal dari
metode bertindak yang pragmatis. Pertama-tama manusia memiliki ide atau
keyakinan itu yang ingin direalisasikan. Untuk merealisasikan ide atau
keyakinan itu, manusia mengambil keputusan yang berisi tindakan tertentu
sebagai realisasi ide atau keyakinan tadi. Dalam hal ini, sebagaimana diketahui
oleh Peirce, tindakan tersebut tidak dapat diambil lepas dari tujuan tertentu.
Dan tujuan itu tidak lain adalah hasil yang akan diperoleh dari tindakan itu
sendiri, atau konsekuensi praktis dari adanya tindakan itu.
Pragmatisme
dalam perkembangannya mengalami perbedaan kesimpulan walaupun berangkat dari
gagasan asal yang sama. Kendati demikian, ada tiga patokan yang disetujui
aliran pragmatisme yaitu menolak segala intelektualisme, absolutisme dan meremehkan
logika formal.
B.
TOKOH-TOKOH
FILSAFAT PRAGMATISME
1.
Charles Sanders Peirce (1839-1914).
Dalam konsepnya
ia menyatakan bahwa, sesuatu dikatakan berpengaruh bila memang memuat hasil
yang praktis. Pada kesempatan yang lain ia juga menyatakan bahwa, pragmatisme
sebenarnya bukan suatu filsafat, bukan metafisika, dan bukan teori kebenaran,
melainkan suatu teknik untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah (Ismaun,
2004:96). Dari kedua pernyataan itu tampaknya Pierce ingin menegaskan bahwa, pragmatisme
tidak hanya sekedar ilmu yang bersifat teori dan dipelajari hanya untuk
berfilsafat serta mencari kebenaran belaka, juga bukan metafisika karena tidak
pernah memikirkan hakekat dibalik realitas, tetapi konsep pragmatisme lebih
cenderung pada tataran ilmu praktis untuk membantu menyelesaikan persoalan yang
dihadapi manusia.
Horton
dan Edwards di dalam sebuah buku yang berjudul Background of American literary
thought(1974) menjelaskan bahwa peirce memformulasikan (merumuskan) tiga
prinsip-prinsip lain yang menjadi dasar bagi pragmatisme sebagai berikut :
a.
Bahwa kebenaran ilmu pengetahuan sebenarnya
tidak lebih daripada kemurnian opini manusia.
b.
Bahwa apa yang kita namakan “universal “ adalah
yang pada akhirnya setuju dan mnerima keyakinan dari “community of knowers “.
c.
Bahwa filsafat dan matematika harus di buat
lebih praktis dengan membuktikan bahwa problem-problem dan
kesimpulan-kesimpulan yang terdapat dalam filsafat dan matematika merupakan hal
yang nyata bagi masyarakat(komunitas).
2.
William James (1842-1910 M).
William selain
menamakan filsafatnya dengan “pragmatisme”, ia juga menamainya “empirisme
radikal”.
Menurut James,
pragatisme adalah aliran yang mengajarkan bahwa yag benar ialah apa yang
membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan perantaraan yang akibat-akibatnya
yang bermanfaat secara praktis. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu
asal saja membawa akibat praktis, misalnya pengalaman-pengalaman pribadi,
kebenaran mistik, semuanya bisa diterima sebagai kebenaran, dan dasar tindakan
asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat.
Sedangkan
empirisme radikal adalah suatu aliran yang harus tidak menerima suatu unsur
alam bentuk apa pun yang tidak dialami secara langsung.
Dalam bukunya The Meaning of The Truth, James mengemukakan tidak ada kebenaran mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal yang mengenal, melainkan yang ada hanya kebenaran-kebenaran ‘plural’. Yang dimaksud kebenaran-kebenaran plural adalah apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.
Dalam bukunya The Meaning of The Truth, James mengemukakan tidak ada kebenaran mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal yang mengenal, melainkan yang ada hanya kebenaran-kebenaran ‘plural’. Yang dimaksud kebenaran-kebenaran plural adalah apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.
Menurut James,
ada dua hal kebenaran yang pokok dalam filsafat yaitu Tough Minded dan Tender
Minded. Tough Minded dalam mencari kebenaran hanya lewat pendekatan empirirs
dan tergantung pada fakta-fakta yang dapat ditangkap indera.Sementara, Tender
Minded hanya mengakui kebenaran yang sifatnya berada dalam ide dan yang
bersifat rasional.
Disamping itu
pula, William James mengajukan prinsip-prinsip dasar terhadap pragmatisme, sebagai
berikut:
a.
Bahwa dunia tidak hanya terlihat menjadi
spontan, berhenti dan tak dapat di prediksi tetapi dunia benar adanya.
b.
Bahwa kebenaran tidaklah melekat dalam ide-ide
tetapi sesuatu yang terjadi pada ide-ide daam proses yang dipakai dalam situasi
kehidupan nyata.
c.
Bahwa manusia bebas untuk meyakini apa yang
menjadi keinginannya untuk percaya pada dunia, sepanjang keyakinannya tidak
berlawanan dengan pengalaman praktisny maupun penguasaan ilmu pengetahuannya.
d.
Bahwa nilai akhir kebenaran tidak merupakan satu titik ketentuan yang absolut,
tetapi semata-mata terletak dalam kekuasaannya mengarahkan kita kepada
kebenaran-kebenaran yang lain tentang dunia tempat kita tinggal didalamnya
(Horton dan Edwards, 1974:172).
3.
John Dewey (1859-1952).
Selepas berkerja dari William James, Dewey
menghasilkan pemikiran yang menampakkan persamaan dengan gagasan James.
Dewey adalah seorang yang pragmatis. Menurutnya,
filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau
mengatur kehidupan manusia serta aktifitasnnya untuk memenuhi kebutuhan
manusiawi.
Sebagai pengikut pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, tidak ada faedahnya.
Sebagai pengikut pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, tidak ada faedahnya.
Dewey lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme.
Pengalaman adalah salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme. Oleh karena
itu filsafat harus berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara aktif-kritis.
Dengan demikian, filsafat akan dapat menyusun sistem norma-norma dan
nilai-nilai.
Instrumentalisme ialah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis
dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan,
penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam itu dengan cara
utama menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran itu dengan cara utama menyelidiki
bagaimana pikiran-pikiran itu berfungsi dala penemuan-penemuan yang berdasarkan
pengalaman yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan.
Sikap Dewey
dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan meniliti tiga aspek dari yang kita
namakan instrumentalisme.
a.
Pertama, kata temporalisme yang berarti ada
gerak dan kemajuan nyata dalam waktu.
b.
Kedua, kata futurisme, mendorong kita untuk
melihat hari esok dan tidak pada hari kemarin.
c.
Ketiga, milionarisme, berarti bahwa dunia dapat
dibuat lebih baik dengan tenaga kita. Pandangan ini juga dianut oleh wiliam
James.
C.
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN PRAGMATISME
1. Kelebihan Pragmatisme
a.
kemunculan pragmatis sebagai aliran filsafat
dalam kehidupan kontemporer, khususnya di Amerika Serikat, telah membawa
kemajuan-kemnjuan yang pesat bagi ilmu pengetahuan maupun teknologi
b.
Pragmatisme mengarahkan aktivitas manusia untuk
hanya sekedar mempercayai (believe) pada hal yang
sifatnya riil, indriawi, dan yang memanfaatnya bisa di nikmati secara
praktis-pragmatis dalam kehidupan sehari-hari.
c.
Pragmatisme telah berhasil mendorong berfikir
yang liberal, bebas dan selalu menyangsikan segala
yang ada.
d.
Sesuai dengan coraknya yang sekuler,
pragmatisme tidak mudah percaya pada “kepercayaan yang mapan” dengan kata lain
tidak mengakui adanya sesuatu yang sakral dan mitos. Dengan seperti itu
pragmatisme merupakan pendukung terciptanya demokratisasi, kebebasan manusia
dan gerakan-gerakan progresif dalam masyarakat modern.
2.
Kelemahan Pragmatisme
a.
Karena pragmatisme tidak mau mengakui sesuatu
yang bersifat metafisika dan kebenaran absolute (kebenaran tunggal),
mengakibatkan pragmatisme sangat mendewakan kemampuan akal dalam
mencapai kebutuhan kehidupan, maka sikap-sikap semacam ini menjurus kepada
ateisme.
b.
Karena yang menjadi kebutuhan utama dalam
filsafat pragmatisme adalah sesuatu yang nyata, praktis, dan langsung dapat di
nikmati hasilnya oleh manusia, maka pragmatisme menciptkan pola pikir
masyarakat yang matrealis. Manusia berusaha secara keras untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan yang bersifat ruhaniah. Maka dalam otak masyarakat
pragmatisme telah di hinggapi oleh penyakit matrealisme.
c.
Untuk mencapai matrealismenya, manusia
mengejarnya dengan berbagai cara, tanpa memperdulikan lagi dirinya merupakan
anggota dari masyarakat sosialnya. Ia bekerja tanpa mengenal batas waktu
sekedar memenuhi kebutuhan materinya, maka dalam struktur masyarakatnya manusia
hidup semakin egois individualis. Dari sini, masyarakat pragmatisme menderita
penyakit humanisme.
D.
PENGARUH PRAGMATISME DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Sejak dahulu hingga dewasa ini, dunia
pendidikan selalu membuka diri terhadap kemungkinan diterapkannya suatu format
pendidikan yang ideal untuk menjawab permasalahan global. Banyak teori telah
diadopsi untuk mencapai tujuan tersebut. Termasuk teori pragmatis dari aliran
Filsapat pragmatisme mencoba mengisi ruang dan waktu untuk turut mencari solusi
terbaik terhadap model pendidikan yang dianggap selangkah ketinggalan dengan
perkembangan pola pikir manusia itu sendiri.
Seiring dengan perkembangan, dunia pendidikan
berupaya menyelaraskan antara eksplorasi pikiran manusia dengan solusi tindakan
bersama perangkatnya untuk mencapai puncak temuan. Di bawah ini akan diuraikan
arah dan tujuan pendidikan pragmatisme.
a.
Arah Pendidikan
Pragmatisme
Dunia akan
bermakna hanya jika manusia mempelajari makna yang terkandung di dalamnya, dan
perubahan merupakan keniscayaan dari sebuah realitas. Manusia tidak akan pernah
menjadi manusia yang sesungguhnya jika mereka tidak berkreasi terhadap dirinya.
Manusia adalah makhluk yang dinamis dan plastis. Dalam sepanjang hidup manusia
akan terus-menerus berkembang sesuai dengan kemampuan dan kreasinya.
Dalam
perkembangan tersebut manusia membutuhkan sesamanya, meniru, beradaptasi,
bekerja-sama dan berkreasi mengembangkan kebudayaan di tengah-tengah
komunitasnya. Baik dan buruk suatu peradaban ditentukan oleh kualitas
perkembangan manusia. Manusia yang berkualitas akan mewarnai peradaban yang
baik. Sebaliknya, manusia yang tidak berkualitas akan mewariskan/meninggalkan
peradaban yang buruk, fulgar bahkan barbar.
Pendidikan yang
mengikuti pola filsafat pragmatisme akan berwatak humanis, dan pendidikan yang
humanis akan melahirkan manusia yang humanis pula. Karena itu, pernyataan “man
is the meansure of all things” (Sadulloh, 2003: 120) akan sangat
didukung oleh penganut aliran pragmatis, sebab hakekat pendidikan itu sendiri
adalah memanusiakan manusia (Drost, 1998:v).
Inti dari
filsafat pendidikan yang berwatak pragmatis; pengetahuan yang benar adalah
pengetahuan yang berguna, dan hasil dari pendidikan adalah berfungsi bagi
kehidupannya. Karena itu, pendidikan harus didesain secara fleksibel dan
terbuka. Maksudnya pendidikan tidak boleh mengurung kebebasan berkreasi anak,
lebih-lebih membunuh kreatifitas anak. Menurut pragmatisme, pendidikan bukan
semata-mata membentuk pribadi anak tanpa memperhatikan potensi yang ada dalam
diri anak, juga bukan beranggapan bahwa anak telah memiliki kekuatan laten
yang memungkinkan untuk berkembang dengan sendirinya sesuai tujuan. Jadi, baik
anak maupun orang dewasa selalu belajar dari pengalaman masa lalunya.
b.
Tujuan
Pendidikan Pragmatisme
Tujuan
pendidikan pragmatisme inheren dengan pandangan realitas, teori pengetahuan dan
kebenaran, serta teori nilai. Menurut pandangan realitas, manusia selalu
berintraksi dengan lingkungan tempat mereka berada. Lingkungan baru memiliki
arti jika manusia peduli dan memahami kegunaan dari lingkungan itu sendiri
untuk kejayaan hidupnya. Selama manusia tidak melakukan sesuatu terhadap
lingkungan, selama itu pula lingkungan tidak pernah memberi sesuatu yang
bermanfaat bagi manusia.
Kebenaran tidak
pernah mutlak, tidak berlaku umum, tidak tetap, tidak berdiri sendiri serta
tidak terlepas dari akal yang mengenal, yang ada hanyalah kebenaran yang
bersifat khusus dan setiap saat dapat diubah oleh pengalaman (Sadulloh,
2003:128). Paparan itu mengandung makna bahwa, ukuran kebenaran sangat nisbi
bergantung dari masing-masing yang memandang. Baik menurut seseorang, mungkin
akan sebaliknya menurut orang lain, demikian seterusnya, sehingga patokan
kebenaran tidaklah dapat berlaku untuk semua orang dan keadaan. Demikian pula
nilai, menurut pragmatisme bersifat relatif, karena kaidah-kaidah moral dan
etika tidak pernah tetap, tetapi terus berubah seperti berubahnya kebudayaan
seiring dengan berubahnya masyarakat yang membentuk kebudayaan itu.
Bertolak dari
paparan tersebut, tujuan pendidikan pun harus disesuaikan dengan keadaan
masyarakat dimana anak itu berada. Hakekatnya pendidikan berlangsung dalam
kehidupan. Karena itu, tujuan pendidikan menurut pragmatisme harus pula
disesuaikan dengan lingkungan tempat dilangsungkannya pendidikan itu. Menjadi
sesuatu yang ironis jika sebuah pendidikan diterapkan dengan tanpa
mempertimbangkan keadaan lingkungan kehidupan anak.
Di suatu negara
yang memiliki penduduk hedrogen seperti Indonesia, terdapat beraneka ragam
warna kehidupan masyarakat. Baik wilayah geografis, tradisi, bahasa daerah,
suku, profesi dan sebagainya. Masing-masing keadaan memiliki ciri-ciri tertentu
serta satu dengan yang lain berbeda-beda. Sebagai misal, jika terdapat suku
yang sama, mungkin tradisi mereka berbeda. Jika memiliki wilayah geografis yang
sama, mungkin mata pencaharian atau profesi mereka berbeda, demikian
seterusnya, sehingga tidak mungkin dapat diterapkan suatu kebijaksanaan
pendidikan yang memiliki konsekuensi yang sama.
Menurut
pragmatisme, tidak ada tujuan pendidikan yang berlaku secara umum, dan tidak
ada pula tujuan pendidikan yang bersifat tetap dan pasti. Yang ada hanyalah
tujuan khusus, dan bersifat nisbi serta tidak pasti. Karena itu, mustahil
tujuan pendidikan dapat ditetapkan untuk semua masyarakat. Tujuan pendidikan
menurut pragmatisme selalu bersifat temporer, dan tujuan merupakan alat untuk
bertindak. Jika suatu tujuan telah dicapai, maka hasil tujuan akan menjadi alat
untuk mencapai tujuan berikutnya, demikian seterusnya, karena pragmatisme tidak
mengenal tujuan akhir, dan yang ada adalah tujuan antara.
Pendidikan yang
bercorak pragmatisme selalu memandang bahwa anak bukanlah individu yang silent,
melainkan individu yang memiliki pikiran yang aktif dan kreatif. Pengetahuan
sebenarnya merupakan hasil dari transaksi manusia dengan lingkungannya,
termasuk kebenaran menjadi bagian dari pengetahuan itu sendiri. Karena itu,
seorang guru yang memiliki pandangan pragmatis akan selalu memperhatikan
situasi lingkungan masyarakat anak, serta mendorong agar anak turut memecahkan
persoalan yang ada disekitar tinggal mereka.
Dalam pandangan
pragmatisme model kurikulum yang digunakan setiap pelajaran tidak boleh
terpisah-pisah antara satu dengan yang lain, tetapi merupakan satu kesatuan
yang saling terkait, dan pengalaman di sekolah selalu dipadukan dengan
pengalaman anak di luar sekolah atau di tempat lingkungan kehidupan anak.
Selain itu, masalah yang dijadikan pusat kegiatan oleh guru di kelas adalah
masalah-masalah aktual yang menarik minat anak atau menjadi pusat perhatian
anak.
Demikian pula
metode yang diterapkan oleh guru adalah metode disiplin bukan kekuasaan, karena
metode kekuasaan cenderung memaksakan anak untuk mengikuti kehendak guru. Cara
yang demikian itu tidak mungkin dapat membangkitkan perhatian dan minat anak.
Sedangkan metode disiplin, semua kemauan dan minat datang dari dalam diri anak
sendiri, dan anak akan belajar apabila ia memiliki minat terhadap suatu hal
untuk dipelajari.
Ajaran pragmatisme lebih mengutamakan
penggunaan metode pemecahan masalah (problem solving method) serta
metode penyelidikan dan penemuan (inquiri and discovery method). Dalam
praktiknya (mengajar), metode ini membutuhkan guru yang memiliki sifat pemberi
kesempatan, bersahabat, seorang pembimbing, berpandangan terbuka, antusias,
kreatif, sadar bermasyarakat, siap siaga, sabar, bekerjasama, dan
bersungguh-sungguh agar belajar berdasarkan pengalaman dapat diaplikasikan oleh
siswa dan apa yang dicita-citakan dapat tercapai.
Bertolak dari
uraian tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa, tujuan pendidikan
pragmatisme adalah menumbuhkan jiwa yang aktif dan kreatif; membentuk jiwa yang
bertanggung jawab; sosial; dan mengembangkan pola pikir eksploratif yang
mandiri kepada anak. Dengan tujuan tersebut pola perkembangan anak akan
berjalan sesuai dengan pilihan hidup yang telah direncanakan.
BAB III
PENUTUP
B.
KESIMPULAN
Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan,
perbuatan. Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar
apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya
yang bermanfaat secara praktis.
Filosuf yang terkenal sebagai tokoh filsafat pragmatisme adalah Charles Sanders
Peirce, William James dan John Dewey.
Seperti dengan aliran-aliran filsafat pada umumnya, pragmatisme juga memiliki
kekeliruan sehingga menimbulkan kritik-kritik terhadap aliran filsafat ini.
Kekeliruan pragmatisme dapat dibuktikan dalam tiga tataran pemikiran: (1)
kritik dari segi landasan ideologi pragmatisme, (2) kritik dari segi metode
pemikiran, dan (3) kritik terhadap pragmatisme itu sendiri.
Pragmatisme
memandang bahwa siswa merupakan organisme rumit yang mempunyai kemampuan luar
biasa untuk tumbuh, sedangkan guru berperan untuk memimpin dan membimbing
pengalaman belajar tanpa ikut campur terlalu jauh atas minat dan kebutuhan
siswa.(http://febryarifan.blogspot.com)
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar