MAKALAH
KEBUDAYAAN INDONESIA
(TARI BEDHAYA KETAWANG SOLO JAWA TENGAH)
Oleh:
Febriari (140251602773)
Galang Satria Prayoga (140251603275)
Sofiyatul Barri (140251602994)
Tria Wahyu Ningrum (140251602218)
Offering B
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS SASTRA
PRNDIDIKAN SENI RUPA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Kebudayaan
di Indonesia sangat beragam jenis dan kebudayaan merupakan salah satu hal
penting bagi suatu daerah , namun kenyataannya
di Indonesia banyak orang-orang yang tidak mengetahui kebudayaan yang
ada di Indonesia dan banyak juga orang-orang yang tidak memperdulikan
kebudayaan tersebut, termasuk dengan kebudayaan masing-masing. Padahal
kebudayaan itu dapat mencerminkan bagaimanah suatu daerah dapat terkenal. Salah
satu contohnya pada kebudayaan jawa tengah yaitu Tari Bedhaya Ketawang Solo.
Tari
Bedhaya Ketawang adalah sebuah tarian sakral yang menceritakan kisah asmara
Panembahan Senopati (Mataram) dengan ratu Kencanasari (penguasa laut kidul),
biasanya dipertunjukan hanya pada saat peringatan kenaikan tahta raja, dan
biasanya hanya dinikmati oleh kalangan abdi dalam saja.
Banyak hal yang menarik untuk di amati dalam
Tarian Bedhaya Ketawang ini, yaitu
sejarahnya menarik, fungsi tujuannya yang kuat serta konten yang terkandung di
dalamnya. Maka dalam makalah ini kami mengambil tari bedhaya katawang solo agar
kita bisa memahami secara mendalam tentang tarian bedhaya ketawang solo.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah
itu tarian Bedhaya Ketawang ?
2.
Bagaimana
sejarah tarian Bedhaya Ketawang ?
3.
Apakah
tujuan adanya tarian Bedhaya Ketawang ?
C.
TUJUAN PENULISAN
1.
Untuk
lebih memahami secara mendalam tentang tarian Bedhaya Ketawang Solo.
2.
Untuk
mengetahui tentang sejarah tarian Bedhaya Ketawang Solo yang termasuk
kebudayaan-kebudayaan indonesia.
3.
Untuk
menegtahui tujuan adanya tarian Bedayang Ketawang Solo.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
TARI BEDHAYA KETAWANG
1.
Pengertian Tari Bedhaya Ketawang
Tari
Bedhaya Ketawang berasal dari kata bedhaya berarti penari wanita di istana. Sedangkan ketawang berasal dari kata yang berarti langit, identik dengan mendhung
atau awan tempatnya di atas, sesuatu yang di atas dinamakan tinggi makna
simbolisnya yaitu luhur. Tari Bedhaya Ketawang menjadi tari suguhan sakral yang berarti
suci yang menyangkut Ketuhanan, dimana segala sesuatu tidak akan terjadi tanpa kehendak TuhanYang Maha Esa.
Tari
Bedhaya Ketawang dapat diklasifikasikan pada tarian yang mengandung unsur dan
makna serta sifat yang erat hubungannya dengan :
a.
Adat Upacara (Seremoni).
Tari bedhaya ketawang jelas bukan
suatu tarian yang untuk tontonan
semata-mata, karena hanya ditarikan untuk sesuatu yang khusus dan dalam suasana
yang resmi sekali.
Seluruh suasana menjadi sangat
khudus, sebab tarian ini hanya dipergelarkan berhubungan dengan peringatan
ulang tahun tahta kerajaan saja. Jadi tarian ini hanya sekali setahun
dipergelarkannya.
Selama tarian berlangsung tiada
hidangan keluar, juga tidak dibenarkan orang merokok. Makanan, minuman atau pun
rokok dianggap hanya akan mengurangi Kehidupan jalannya upacara adat yang suci
ini.
b.
Sakral
Tari bedhaya ketawang ini dipandang sebagai
suatu tarian ciptaan Ratu di antara seluruh makhluk halus. Bahkan orang pun
percaya bahwa setiap kali Bedhaya Ketawang ditarikan, sang pencipta selalu
hadir juga serta ikut menari. Tidak setiap orang dapat melihat, hanya pada
mereka yang peka saja sang pencipta ini menampakkan diri.
Konon dalam latihan-latihan yang
dilakukan, sering pula sang pencipta ini membetul-membetulkan keselahan yang
dibuat oleh para penari. Bila mata orang awam tidak melihatnya, maka penari
yang bersangkutan saja yang merasakan kehadirannya.
Dalam hal ini ada dugaan, bahwa
semula Bedhaya Ketawang itu adalah suatu tarian di candi-candi.
c.
Religius
Segi religiusnya jelas dapat
diketahui dari kata-kata yang dinyanyikan oleh suarawatinya. Antara lain ada
yang berbunyi : …. Tanu astra agni urube, kantar-kantar kyai, …. yen mati
ngendi surupe, kyai?” (………. kalau mati ke mana tujuannya, kyai?).
d.
Tarian Percintaan atau Tari Perkawinan.
Tari Bedhaya Ketawang melambangkan curahan cinta asmara
Kangjeng Ratu kepada Sinuhun Sultan Agung. Semuanya itu terlukis dalam
gerak-gerik tangan serta seluruh bagian tubuh, cara memegang sondher dan lain
sebagainya. Namun demikian cetusan segala lambang tersebut telah dibuat
demikian halusnya, hingga mata awam kadang-kadang sukar akan dapat memahaminya.
Satu-satunya yang jelas dan memudahkan dugaan tentang adanya hubungan dengan
suatu perkawinan ialah, bahwa semua penarinya dirias sebagai lazimnya mempelai
akan dipertemukan. Tentang hal kata-kata yang tercantum dalam hafalan nyanyian
yang mengiringi tarian, jelas sekali menunjukkan gambaran curahan asmara Kangjeng
Ratu, yang merayu dan mencumbu. Bila ditelaah serta dirasakan, maka menurut
penilaian atau pandangan pada masa kini, kata-katanya mungkin sekali dianggap
kurang senonoh, sebab sangat mudah membangkitkan rasa birahi.
Perihal kapan
dimulainya pergelaran Bedhaya ketawang ini diadakan untuk peresmian peringatan
ulang tahun kenaikan tahta Sri Susuhunan, belum ada yang dapat dipakai sebagai
pedoman.
Aslinya
pergelaran ini berlangsung selama 2 1/2 jam. Tetapi sejak jaman Sinuhun Paku
Buwana X diadakan pengurangan, hingga akhirnya menjadi hanya 1 1/2 jam saja.
Bagi mereka
yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam kegiatan yang khudus
ini berlaku suatu kewajiban khusus. Sehari sebelumnya para anggota kerabat
Sinuhun menyucikan diri, lahir dan batin. Peraturan ini di masa-masa dahulu
ditaati benar. Walaupun dirasa sangat memberatkan dan meyusahkan, namun berkat
kesadaran dan ketaatan serta pengabdian pada keagungan Bedhaya Ketawang yang
khudus itu, segala peraturan tersebut dilaksanakan juga dengan penuh rasa tulus
dan ikhlas. Yang penting ialah, bahwa bagi mereka ini Bedhaya Ketawang
merupakan suatu pusaka yang suci. Untuk inilah mereka semua mematuhi setiap
peraturan tatacara yang berlaku.
Bagi para
penari ada peraturan yang lebih ketat lagi, sebab menurut adat kepercayaan,
mereka ini akan langsung berhubungan dengan Kangjeng Ratu Kidul. Karena itu
mereka juga selalu harus dalam keadaan suci, baik pada masa-masa latihan maupun
pada waktu pergelarannya.
Sebagai
telah dikemukakan di depan, Kangjeng ratu Kidul hanya dapat dirasakan
kehadirannya oleh mereka yang langsung disentuh atau dipegang, bila cara
menarinya masih kurang betul. Oleh karena itu, pada setiap latihan yang
diadakan pada hari-hari Anggarakasih (Selasa Kliwon), sekali dalam setiap 35
hari, dan biasanya pelatihan intensif mulai 10 hari sebelum pertunjukan. Para
Bedhaya lain yang terkenal di Keraton Surakarta adalah Bedhaya Daradasih (dari
Raja Paku Buwono IX), Bedhaya Sukoharjo (dari Raja Paku Buwono IX, Bedhaya
Pangkur (dari Raja Paku Buwono IV dan VIII) dan setiap penari dan semua pemain
gamelan beserta suarawatinya harus selalu dalam keadaan suci.
Persiapan-persiapan
untuk suatu pergelaran Bedhaya Ketawang harus dilakukan sebaik-baiknya, dengan
sangat teliti. Bila ada yang merasa menghadapi halangan
bulanan, lebih baik tidak mendaftarkan diri dahulu. Di samping sejumlah penari
yang diperlukan selalu diadakan juga penari-penari cadangan. Bila para penari
ada beberapa pantangan yang harus diperhatikan. Karena itu dipandang lebih
bijaksana untuk memilih penari-penari yang sudah cukup dewasa jiwanya, sehingga
kekhusukan dan ketekunan menarinya akan lebih dapat terjamin. Keseluruhannya
ini akan menambah keagungan suasananya.
2.
Simbol Jumlah Penari
Tari Bedhaya
Ketawang yang dilakukan oleh Sembilan orang penari banyak mengandung makna
simbolis yang selalu terkait dengan pandangan filsafat masyarakat yang
mendukungnya. Maka dapat dikatakan bahwa dalam tari Bedhaya Ketawang ada
keterkaitan dengan kultur zamannya. Jumlah Sembilan yang dipilih adalah jumlah
bilangan terbesar menurut pandangan orang Jawa. Hal ini selalu dikaitkan dengan
perwujudan makrokosmos, sehingga jumlah bilangan penari pada tarian Bedhaya
Ketawang merupakan perwujudan makrokosmos dan mikrokosmos.
Hal ini tidak terlepas pada kepercayaan masyarakat Jawa di masa itu
yang meyakini tentang kesejajaran jagat raya yaitu dunia manusia. Menurut
kepercayaan ini, manusia senantiasa berada pada penjuru mata angin,
bintang-bintang dan planet. Jumlah Sembilan penari pada tari Bedhaya Ketawang
merupakan simbol mikrokosmos (jagat raya) yang ditandai dengan sembilan arah
mata angin yaitu : tengah (sebagai poros), utara, selatan, timur, barat, timur
laut, barat laut, tenggara, dan barat daya. Dalam kitab Wedhapariksama
dijelaskan bahwa sembilan arah mata angin dilambangkan dengan bentuk cakra dengan
pusat lingkaran di tengah.
Kesembilan arah
itu disebut nawa-dhara atau sembilan jenis sikap. Dari nawa-dhara lahirlah
sembilan jenis sakti yang disebut nawa-natha (sembilan penari).
Selain
itu jumlah sembilan tersebut juga merupakan simbol alam semesta dengan segala
isinya yang mencakup : bintang, bulan, matahari, angkasa (langit), bumi
(tanah), air, api, angin, dan makhluk yang ada di dunia.
Dalam
tari Bedhaya Ketawang, jumlah sembilan penari masing-masing mempunyai peran
sebagai : batak, endhel, ajeg, gulu, dhadha, apit ngarep, apit mburi,
apit meneng, endhel, endhel weton dan bucit. Makna dan latar belakang
penyusunan tari Bedhaya Ketawang berkaitan dengan nilai kaum ningrat, bertitik
tolak dari simbol kehidupan religo-magis Hindu-Jawa seperti uraian berikut ini.
Makna
simbolik dalam tari Bedhaya Ketawang yang disebut makna simbolik nilai dualisme
dapat dilihat dan dihayati pada bentuk kemanunggalan antar batak dan endel ajeg
dalam hubungannya dengan Rwa-Binedha (Proyek Sarana Budaya Bali,
1975/1976:60-61). Pada formasi perangan, endhel ajeg dan batak memegang peran
utama, sedangkan ketujuh penari lainnya berperan sebagai penari kelompok. Dalam
formasi peranan ini dilukiskan bahwa endhel ajeg berusaha menaklukan batak,
tapi tidak ada satupun yang menang atau kalah.
Makna yang bisa
diambil dari adegan ini adalah figur permusuhan atau dalam istilah Jawa dikenal
dengan loro-loroning atunggal. Akan tetapi loro-loroning atunggal ini
senantiasa diawali dengan proses yang melambangkan percintaan. Di dalam tari
Bedhaya Ketawang yang menunjukan suatu kaitan dengan sifat Rwa-Bineda secara
jelas menunjukan adanya hubungan dengan berlangsungnya upacara-upacara
kesuburan. Ini sesuai denga tema tari ini yang melambangkan kesuburan yaitu
menggambarkan hubungan seksual antara panembahan Senopati beserta keturunannya
dengan Kanjeng Ratu Kencana Sari, yang ditransformasikan dengan gerak gerak
percintaan yang halus secara abstrak.
Kembali kepada penari yang berjumlah Sembilan yang merupakan symbol
makrokosmos (jagading manungsa) ditandai dengan adanya Sembilan lubang yang ada
pada manusia (lubang hawa nafsu) yaitu : dua mata, dua lubang hidung, dua
lubang telinga, satu mulut, satu anus, dan satu organ seks. Semua terwakili
dalam peran penari Bedhaya Ketawang masing-masing : penari batak sebagai kepala
atau akal, penari endhel ajeg sebagai semua nafsu dan keinginan hati, penari
jangga mewujudkan bagian leher, penari dhadha menunjukan bagian dada, penari
apit ngarep muwujudkan bagian lengan kanan, penari apit mburi mewujudkan bagian
lengan kiri, penari endhel waton mewujudkan bagian organ seks,
Tari
bedhaya ketawang mengenakan dodot ageung bangun tulak sebagai salah satu
cirinya. Bentuk dodot bangun tulak ini merupakan perwujudan kesadaran akan
perlindungan. Ini tampak dengan warna khas pakaian dodot bangun tulak yaitu
hijau biru tua dengan warna putih merupakan symbol daya hidup, berkembangnya
hidup dari kuasa Tuhan, merupakan sinar putih sebagai asal mula hidup. Warna
biru merupakan simbol keluhuran budi, arif bijaksana, waspada, keimanan,
keteguhan hati dalam perjuangan dan pengabdian. Motif alas-alasan merupakan
perwujudan dengan Tuhan. (Haryonagoro, 5 Oktober 2001 ).
3.
Kostum dan Tata Rias Tari Bedhaya Ketawang
Sajian tari
Bedhaya Ketawang selain menampilkan keindahan susunan tarinya diperindah lagi
oleh tata busana dan tata rias sebagai salah satu medium bantunya. Bentuk
busana dodot bangun tulak serta rias wajah dengan paes (rias pengantin Jawa
putri) adalah salah satu cirri dari Bedhaya Ketawang.
Tata rias dan busana tari ini dibedakan menjadi dua yaitu kirab
(gladi resik) yakni latihan terakhir dengan pengawasan raja yang telah duduk di
dhampar kencana dan pada saat upacara jumenengan raja atau tinggalan jumenengan
raja. Pada saat kirab para penari berhias wajah tipis dan sangat sederhana
tetapi telah dikerik ( rambut bagian depan dibentuk paes ) dengan sanggul ageng
bangun tulak, mereka mengenakan sampur putih tidak menggunakan slepe (sabut
untuk menari), kain samparan bermotif parang klithik, dengan perhiasan hanya
subang.
Tata rias dan
busana pada saat pagelaran para penari dirias seperti pengantin jawa. Gambar
paes terdiri dari empat bagian, yaitu : gajah, pangapit, panitis, dan godheg.
Yang disebut gajah berbentuk seperti potongan telur itik bagian ujung letaknya
di tengah dahi. Gajah ini melambangkan tuhan yang maha kuasa karena bentuknya paling
besar. Gambar pangapit terletak dikanan kiri gajah, berbentuk kuncup bunga
kanthil (cempaka) yang melambangkan wanita. Sedangkan panitis berjumlah dua,
terletak kiri pangapit kiri dan kanan pangapit kanan, berbentuk seperti
potongan telur ayam bagian ujung. Panitis ini merupakan perlambang pria yang
bertugas menurunkan benih. Godheg berjumlah dua, berbentuk kuncup kuncup
bungaturi terletak di depan kedua telinga. Godheg melambangkan cita-cita
perkawinan atau bersatunya pria dan wanita, yang diharapkan dapat memberikan
keturunan. (Koes Sri Hartati, 18 Oktober 2001). Dengan demikian paes tari
Bedhaya Ketawang mempunyai makna kesuburan dibawah kekuasaan tuhan.
Ujung gajah, pangapit, dan panitis mengarah kesatu titik yaitu
ujung hidung. Ini merupakan tuntunan bersemedi serta tunduknya manusia yang
sedang mengheningkan cipta untuk pendekatan kepada tuhan. Maka tari ini bisa
dikatakan sebagai sarana pendekatan kepada tuhan (sangkan paraning dumadi).
Banyaknya makna simbolik yang memang sulit dipisah dalam tari Bedhaya Ketawang
dan sangat kompleks. Maka masyarakat Jawa khususnya Surakarta masih meyakini
kesakralan tari Bedhaya Ketawang.
Rambut
disanggul berbentuk bokor mengkureb ditutup dengan bunga melati sebagai rajut
yang berbentuk kawungan. Bentuk bokor sebagai wadah yang masih kosong, sedang
bunga melati menggambarkan kesucian. Ini menyatakan bahwa penari Bedhaya harus
masih gadis dan suci. Bunga melati yang berbentuk kawungan melambangkan
menyatunya kawula ian gusti dalam suatu wadah.(Kebadayaan Jawi keraton
Surakarta : 19). Bunga tiba dhadha berbentuk kawungan dikenakan pada sanggul
bagian kanan terjuntai melewati dada sebelah kanan sampai tengah paha.
Para penari Bedhaya Ketawang pada
waktu pentas mengenakan dodot ageng bangun talak (hitam putih) ini bermakna
penolakan makhluk kasar ataupun halus . kain cindhe merah bermotif cakar
mempunyai makna penghematan, yaitu manusia dituntut harus selalu hemat dan
bekerja. Sampur cindhe merah bermotif cakar sebagai pengikat pinggang agar para
penari dapat mengendalikan diri dengan ikatan yang kuat. Kelat bahu terbuat
dari swasa (perak dicampur tembaga) dikenakan pada lengan atas kiri dan kanan
sebagai tanda bahwa pemakainya masih gadis. Slepe berwarna kuning dan thothok
(tempat mengaitkan slepe ) untuk menambah keindahan warna busana.
Perhiasan yang dikenakan kecantikan para penari antara lain :
cundhuk mentul (bunga goyang) berjumlah Sembilan, garudha mungkur terbuat dari
swasa bertabur intan, dipasang dibawah sanggul bokor mengkureb. Giwang
berbentuk wulan tumanggal (bulan sabit) merupakan lambang murah sandang pangan.
Selain itu dikenakan gelang, cincin, bros untuk menambah keindahan busana
(Yosodipuro,tt : 24).
Hiasan buntal
yang dilingkarkan pada panggul penari dari daun kroton, bunga kenikir atau
biasa disebut dewa-ndaru, daun beringin sengkeran dari pohon yang dikurung di
alun-alun yang biasa dipakai untuk menghias kembang mayang pengantin. Pohon
beringin ini disebut Kalpataru dan Dewantaru yang mempunyai makna
kesuburan yang abadi membawa kesejahteraan dan ketentraman masyarakat Jawa.
(Siti Suharti, 18 Oktober 1993). Dan semakin jelas apabila tari Bedhaya
Ketawang sangat kesakralannya.
4.
Srimpi Anglirmendhung
Ada
lagi satu tarian yang juga termasuk keramat, ialah Srimpi Anglirmendhung.
Tarian Srimpi ini diduga lebih muda daripada Bedhaya Ketawang. Kedua tarian ini
ada kemiripannya, bila ditilik dari:
a. MENDHUNG = awan; Tempatnya di langit
(=TAWANG)
b. Dipakainya kemanak sebagai alat pengiring
utama
c. Pelaksanaan tariannya juga dibagi
menjadi 3 babak
Menurut R.T. Warsadiningrat,
Anglirmedhung ini digubah oleh K.G.P.A.A.Mangkunagara I. Semula terdiri atas
tujuh penari, yang kemudian dipersembahkan kepada Sinuhun Paku Buwana. Tetapi
atas kehendak Sinuhun Paku Buwana IV tarian inidirubah sedikit, menjadi Srimpi
yang hanya terdiri atas empat penari saja.
Namun begitu
mengenai kekhudusan dan kekhidmatannya tiada bedanya dengan Bedhaya Ketawang,
meskipun dalam pergelarannya Srimpi Anglirmendhung boleh dilakukan kapan saja
dan di mana saja. Bedhaya Ketawang hanya stu kali setahun dan hanya di dalam
keraton, di tempat tertentu saja.
5.
Macam-macam
Alat Musik yang di Gunakan
Iringan gamelannya
hanya lima macam; berlaras pelog, pathet lima, dan terdiri atas:
1. Gending (kemanak 2,
laras jangga kecil/manis penunggul).
2. Kala (kendhang).
3. Sangka (gong).
4. Pamucuk (kethuk).
5. Sauran (kenong)
B. SEJARAH TARI BEDHAYA KETAWANG
Menurut tradisi, Bedhaya Ketawang dianggap sebagai
karya Kangjeng Ratu Kidul Kencanasari, ialah ratu makhluk halus seluruh pulau
Jawa. Istananya di dasar Samudera Indonesia. Pusat daerahnya adalah Mancingan,
Parangtritis, di wilayah Yogyakarta. Setiap orang yang percaya takut dan segan
terhadapnya. Segala peraturannya pantang dilanggar.
Tetapi
menurut R.T. Warsadiningrat (abdidalem niyaga), sebenarnya Kangjeng Ratu Kidul
hanya yang menambahkan dua orang penari lagi, hingga menjadi sembilan orang,
kemudian dipersembahkan kepada Mataram.
Menurut
beliau penciptanya adalah Bathara Guru, pada tahun 167. Semula disusunlah satu
rombongan, terdiri dari bidadari, untuk menarikan tarian yang disebut
“Lenggotbawa”. Maka Bedhaya Ketawang itu sifatnya Siwaistis dan umur Bedhaya
Ketawang sudah tua sekali, lebih tua daripada Kangjeng ratu Kidul.
Menurut
G.P.H Kusumadiningrat, pencipta “Lenggotbawa” adalah Bathara Wisnu, tatkala
duduk di Balekambang. Tujuh buah permata yang indah-indah diciptakanya dan
diubah wujudnya menjadi tujuh bidadari yang cantik jelita, dan kemudian
menari-nari, mengitari Bahtera Wisnu dengan arah ke kanan. Melihat hal ini sang
Bathera sangat senang hatinya. Karena tidak pantas dewa menoleh ke kanan dan ke
kiri, maka diciptakanlah mata banyak sekali jumlahnya, letaknya tersebar di
seluruh tubuhnya.
Menurut
Sinuhun Paku Buwana X, Bedhaya Ketawang menggambarkan lambang cinta birahi
Kangjeng ratu Kidul pada Panembahan Senapati. Segala gerakannya melukiskan
bujuk rayu dan cumbu birahi, tetapi selalu dapat dielakkan oleh Sinuhun. Maka
Kangjeng Ratu Kidul lalu memohon, agar Sinuhun tidak pulang, melainkan menetap
saja di samudera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana, ialah dinggasana
yang dititipkan oleh Prabu Ramawijaya di dasar lautan.
Sinuhun
tidak mau menuruti kehendak Kangjeng Ratu Kidul, karena masih ingin mencapai
“sangkan paran”. Namun begitu beliau masih mau memperistri Kangjeng ratu Kidul,
turun temurun. Siapa saja keturunan yang bertahta di pulau Jawa akan mengikat
janji dengan Kangjeng Ratu Kidul pada detik saat peresmian kenaikan tahtanya.
Sebaliknya
bahkan Kangjeng Ratu Kidul yang diminta datang di daratan untuk mengajarkan
tarian Bedhaya Ketawang pada penari-penari kesanyangan Sinuhun. Dan ini
kemudian memang terlaksana. Pelajaran tarian ini diberikan setiap hari
Anggarakasih, dan untuk keperluan ini Kangjeng Ratu Kidul akan hadir.
Gendhing
yang dipakai untuk mengiringi Bedhaya Ketawang disebut juga Ketawang Gedhe.
Gendhing ini tidak dapat dijadikan gendhing
untuk klenengan, karena resminya memang bukan gendhing, melainkan
termasuk tembang gerong.
Gamelan
iringannya, sebagai telah diterangkan di depan, terdiri dari lima macam jenis :
kethuk, kenong, kendhang, gong dan kemanak. Dalam hal ini yang jelas sekali
terdengar ialah suara kemenaknya. Tarian yang diiringi dibagi menjadi tiga
adengan (babak). Anehnya, di tengah-tengah seluruh bagian tarian larasnya
berganti ke slendro sebentar (sampai dua kali), kemudian kembali lagi ke laras
pelong, hingga akhirnya. Pada bagian (babak) pertama diiringi sindhen Durma,
selanjutnya berganti ke Retnamulya.
Pada
saat mengiringi jalannya penari keluar dan masuk lagi ke Dalem Agung
Prabasuyasa alat gamelannya ditambah dengan : rebab, gender, gambang dan
suling. Ini semuanya dilakukan untuk menambah keselarasan suasana. Selama
tarian dilakukan sama sekali tidak digunakan keprak. Keluarnya penari dari
Dalem Agung Prabasuyasa menuju ke Pendapa Ageng Sasanesewaka, dengan berjalan
berurutan satu demi satu. Mereka mengitari Sinuhun yang duduk di singgasana
(dhampar).
Demikian
juga jalan kembalinya ke dalam. Yang berbeda dengan kelaziman tarian lain-lainnya,
para penari bedhaya Ketawang selalu mengitari Sinuhun, sedang beliau duduk di
sebelah kanan mererka (meng-“kanan”kan). Pada tarian Bedhaya Ketawang atau
serimpi biasa, penari-penari keluar-masuk dari kanan Sinuhun, dan kembali
melalui jalan yang sama.
C. TUJUAN TARI BEDHAYA
KETAWANG
Tari Bedhaya
Ketawang adalah sebuah tari yang amat disakralkan dan hanya digelar dalam
setahun sekali. Konon di dalamnya sang Ratu Kidul ikut menari sebagai tanda
penghormatan kepada raja-raja penerus dinasti Mataram.
Bedhaya
Ketawang ini semula khusus diperagakan oleh abdi dalem Bedhaya Keraton
Surakarta Hadiningrat. Pergelaran Bedhaya
Ketawang ini diadakan untuk peresmian peringatan ulang tahun kenaikan tahta Sri
Susuhunan dan untuk saat ini biasanya dipertunjukan hanya
pada saat peringatan kenaikan tahta raja, Tari Bedhaya Ketawang hanya di
pentaskan sekali dalam setahun dan biasanya hanya dinikmati oleh sunan bersama
keluarga, kerabat dan kalangan abdi dalam saja.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tari Bedhaya Ketawang Keraton Kasunanan
Surakarta merupakan reaktualisasi hubungan mistis Penembahan Senapati dengan
Kanjeng Ratu Kencana Sari (Kangjeng Ratu Kidul) yang dianggap sangat tua dan
bersifat sakral yang mempunyai kedudukan khusus bagi Keraton Kasunanan
Surakarta. Tari Bedhaya Ketawang mengandung pendidikan dan berbagai makna
simbolis yang sangat berarti bagi kehidupan manusia Jawa.
Konsep ratu gung binathara menentukan
tari Bedhaya Ketawang mempunyai fungsi khusus yaitu konsepsi tentang kekuasaan
raja yang menempatkan raja sebagai penjelmaan dewa, atau mewakili dewa, atau
memiliki sifat-sifat seperti dewa, yang memiliki kekuasaan mutlak. Kemutlakan
kekuasaan sering menimbulkan tindakan kesewenang-wenangan, hal itu dapat
diimbangi dengan syarat raja yang ideal, yakni ratu gung binathara, bauhendha nyakrawati, berbudi bawa leksana
ambek adil paramarta. Dengan demikian keberadaan tari Bedhaya Ketawang
sebagai legitimasi kekuasaan raja dapat dipahami.
Tari Bedhaya Ketawang dijadikan sarana jumenengan
raja dan ting-galan jumenengan raja sejak pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwana X yang secara
politis kekuasaan Belanda lebih kuat mencengkram dibandingkan saat pemerintah
raja-raja sebelumnya. Beralihnya perhatian di budang-bidang seni budaya (termasuk
tari Bedhaya Ketawang) bertujuan
mempertahankan kewibaan raja sebagai kelas penguasa terhadap rakyat yang
dikuasai. Dengan demikian tari Bedhaya Ketawang dapat dikatakan sebagai
legitimasi kekuasaan.(http://febryarifan.blogspot.com/)
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar